Aku masih ingat, dulu saat duduk di bangku SMP, teman satu mejaku meminjam buku tugasku kemudian menyalinnya. Seperti biasa.
Aku tidak pernah mempermasalahkannya, karena dia adalah sahabatku sejak sekolah dasar. Membantunya, itu kewajibanku.
Rasa kesal mulai ada saat dia mengajak serta kawannya menyontek tugasku. Tapi, saat itu aku masih diam. Aku tak ingin membuat sahabatku tersinggung, atau bahkan marah.
Sepuluh menit berlalu. Kubiarkan mereka menyalin jawaban milikku. Sampai bunyi bell tanda pelajaran akan segera dimulai, mereka berdua saling berebut buku. Memburu jawaban yang sebentar lagi harus dikumpulkan.
Dan sesuatu yang buruk pun terjadi.
Lembar tugas milikku robek! Tiga menit sebelum pelajaran dimulai.
Marah. Tentu saja.
Mereka tidak tahu betapa aku harus begadang demi selembar jawaban itu.
Aku marah.
Aku tidak berkata kasar, aku tidak mencaci maki, atau melukai mereka.
Aku hanya diam, kemudian merebut lembar kertas itu dari mereka.
Sahabatku, dia bukan tidak merasa bersalah. Dia sempat meminta maaf, sesaat setelah kejadian itu. Tapi aku tak menghiraukannya. Emosi telah menguasaiku.
Hari-hari selanjutnya, situasi semakin buruk. Dia memutuskan untuk pindah ke lain meja. Meninggalkanku, tanpa berbicara.
Sebenarnya, saat dia memutuskan untuk pindah meja, aku ingin sekali melarangnya. Mengajaknya berbicara, dan memperbaiki hubungan yang sempat retak.
Namun sayang, ego menahanku untuk tidak melakukan itu.
Aku beranggapan bahwa dialah yang salah, seharusnya dia yang mengajakku berbicara terlebih dahulu, lalu kembali meminta maaf padaku. Bukan malah menjauhiku.
‘Diam’ itu berlanjut hingga kenaikan kelas delapan. Kami berpisah di kelas-kelas selanjutnya.
Dan kami, benar-benar telah putus hubungan. Aku bukan lagi sahabatnya, dan dia tak pernah menganggapku siapa-siapa lagi sekarang.
Sampai saat ini, setiap mengingat kejadian bodoh itu, aku selalu merasa bersalah.
Andai aku bisa berfikir sedikit lebih dewasa. Bahwa memaafkan itu adalah hal yang mulia, bahwa meminta maaf itu adalah hal yang bijaksana. Terlepas dari salah atau tidaknya kita.
Pengalaman yang amat berharga, membuatku semakin berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Tidak semua orang memiliki hati seperti kita, tak semua orang memiliki pemikiran yang sama dengan kita. Jangan paksa orang lain untuk mengerti apa yang kita mau, tapi cobalah mengerti dan memperbaiki demi keadaan yang lebih baik untuk kita, untuk mereka, untuk semuanya.
-Untukmu, Upi-